Tarif berasal dari kata Arab ta’rif dan awalnya hanya pungutan ringan 1–5 persen untuk pendapatan negara.
Pemikir klasik seperti Aristoteles dan Plato melihat perdagangan sebagai kejahatan atau ancaman moral, sementara Pericles mendukung keterbukaan dagang meski membatasi kewarganegaraan.
Era modern menandai bangkitnya merkantilisme dan proteksionisme, di mana pemerintah menggunakan tarif untuk memperkuat industri dalam negeri dan menegaskan identitas nasional.
Sejak berdirinya Amerika Serikat, tokoh seperti Alexander Hamilton mengadopsi tarif sebagai instrumen perlindungan industri baru dan sumber utama pendapatan pemerintah federal.
Isu tarif terus memicu konflik politik di AS, termasuk perselisihan Utara vs Selatan, Krisis Nullifikasi, hingga kebijakan tarif Trump yang sejajar dengan era Hoover.
Robert Lighthizer membela tarif sebagai landasan kebijakan ekonomi AS, tetapi argumentasinya minim bukti empiris dan mengabaikan biaya tambahan bagi konsumen dan pelaku industri.
Ben Chu menyoroti kompleksitas rantai pasok global dan menunjukkan bahwa tarif justru membebani konsumen, merusak efisiensi industri, serta mengganggu kemitraan perdagangan internasional.
Kebijakan tarif bersifat nostalgik dan nostalgia proteksionisme sulit dipertahankan jika dibandingkan dengan periode kemakmuran pasca-Perang Dunia II yang didorong oleh perdagangan bebas.
Get notified when new stories are published for "Berita Peretas 🇮🇩 Bahasa Indonesia"